Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pada Sabtu (24/4/2021) di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, pemimpin atau perwakilan negara anggota ASEAN akan membahas mengenai krisis yang terjadi di Myanmar. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand Tanee Sangrat mengatakan, ASEAN menyadari bagaimana harapan internasional untuk hasil konkret dari pertemuan besok.
KTT kali ini sekaligus akan menjadi ujian bagi persatuan dan kredibilitas ASEAN. "Sekarang tergantung pada anggota keluarga ASEAN termasuk Myanmar untuk menjaga persatuan dan kredibilitas ASEAN," kata Tanee, dikutip dari . Sebelumnya, Perdana Menteri Thailand Prayut Chan o cha dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membahas krisis Myanmar melalui sambungan telepon.
Dalam percakapan tersebut, Prayut mengakui bahwa situasi di Myanmar merupakan masalah yang menantang bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan itu. Namun, Prayut mengabarkan, dia tak dapat menghadiri KTT ASEAN karena harus tinggal di rumah untuk menghadapi situasi virus corona yang melanda Thailand. Sebagai gantinya, Prayut akan mengirim Menteri Luar Negeri Don Pramudwinai.
Sementara itu, Ketua Dewan Pemerintah Sementara (SAC) Myanmar Min Aung Hlaing, dikabarkan akan menghadiri KTT ASEAN. Jika benar demikian, maka itu akan menjadi perjalanan luar negeri pertamanya sejak penggulingan Aung San Suu Kyi. Adapun keterlibatannya di KTT ASEAN telah membuat marah para aktivis, kelompok hak asasi manusia, dan pemerintahan bayangan anggota parlemen Myanmar yang digulingkan.
Timbul pula beberapa seruan agar Myanmar dikeluarkan dari pertemuan tersebut. Min Aung Hlaing merupakan orang yang bertanggungjawab atas kudeta 1 Februari 2021 dan kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Diketahui, pasukan keamanan telah menewaskan sedikitnya 739 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Narapidana Politik (AAPP).
Tak hanya itu, menurut utusan PBB Tom Andrews, sekira 250.000 orang mengungsi karena ketakutan. Program Pangan Dunia (WFP) PBB memperingatkan pada Kamis (22/4/2021) bahwa kelaparan dan keputusasaan meningkat tajam di seluruh Myanmar. Sebab, kemiskinan yang sudah ada sebelumnya ditambah pandemi COVID 19 dan krisis politik.
"Semakin banyak orang miskin kehilangan pekerjaan dan tidak mampu membeli makanan," kata direktur WFP Myanmar, Stephen Anderson. "Respons bersama diperlukan sekarang untuk meringankan penderitaan segera, dan untuk mencegah kemerosotan yang mengkhawatirkan dalam keamanan pangan," lanjutnya. WFP mengatakan operasi bantuan makanan baru akan menargetkan hingga dua juta orang yang rentan, tetapi diperkirakan hingga 3,4 juta lainnya akan kelaparan dalam enam bulan.